Sejak kecil, aku tak lagi mendapati belaian kasih seorang ayah. Dia telah pergi meninggalkan hari-hariku saat aku belum bisa mengeja sepatah kata pun. Mata ini belum sempurna untuk melihatnya sehingga saat aku ditanya tentang pribadinya tak ada memori bentuk fisik seorang ayah dalam ingatanku. Bukan karena menghadap Sang Pemilik Kehidupan ia pergi, tapi ia pergi karena ingin melepas tanggung jawab sebagai seorang suami dari wanita desa yang lugu dan ayah dari anak seperti diriku. Meskipun demikian, aku yakin itulah anugerah terbaik Allah untuk hidupku dan hidup ibuku.
Dibalik kepedihan itu, Allah masih menyanyangiku dengan memberikan seorang ibu yang tulus mencintai dan menemaniku. Ia selalu memberiku semangat dan dukungan untuk terus maju meraih asa yang selalu kuimpikan. Dari bibirnya yang tipis, selalu terangkai kalimat doa-doa untuk keberhasilanku di dunia dan akhirat. Pernah suatu ketika akau menanyakan hal itu padanya. Dan dengan senyum ia berkata, “Dalam doaku, ibu berharap agar Engkau menjadi anak sholih yang memiliki kecukupan rizki di dunia dan bahagia di akhirat.” Dan hanya senyum bahagia yang bisa kulempar untuk membalas ketulusan ibuku saat itu. Sepercik ungkapan tadi, tentunya bukan satu-satunya hal yang bisa digunakan untuk menggambarkan kecintaan hati ibu pada diriku. Terlalu sederhana jika kasih sayang ibu hanya diwakili oleh kalimat seperti itu. Ia lebih besar dari tumpukan emas sebesar gunung dan tak akan pernah bisa aku bayar dengan apapun. Aku percaya, kedudukan ibu lebih mulia di sisi Rabb-ku bila dibandingkan orang-orang yang mengaku mencintaiku, bahkan ayahku sendiri.
Sayang, besarnya kasih ibuku kadang aku balas dengan keangkuhan dan kebencian. Aku mulai menyadari hal ini saat usiaku menginjak remaja atau lebih tepatnya duduk di bangku kuliah. Hampir setiap hari aku membuat ibu repot dan membentaknya karena kebutuhanku tak terpenuhi. Meskipun dengan sabar ia tetap melayaniku, selalu saja aku mencari kekurangan-kekurangan ibu. Padahal aku tahu jika ibuku juga harus merangkap peran seorang ayah sebagai tulang punggung mencari nafkah bagi keluarga. Setiap pagi ia harus menggendong dagangan puluhan kilo bahkan lebih hanya untuk makan dan uang sakuku. Sungguh terlalu hina jika diri ini mengingat masa-masa itu.
Ketakutan Yang Sangat
Suatu hari ibuku jatuh sakit dalam waktu yang lama. Seperti kebiasan-kebiasaan sebelumnya, beliau bersikeras untuk tidak dibawa kedokter. Alasannya sederhana saja. Beliau tidak ingin uang yang seharusnya digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anaknya habis untuk membeli obat.
Lebih dari itu, beliau juga tak mau merepotkan diriku atau adikku karena harus bergantian menunggui di rumah sakit. Padahal jika aku sakit maka ibu selalu setia 24 jam menemani dan melayani semua kebutuhannku.
Tapi hari itu sangat berbeda. Meskipun ibu hanya mengaku demam biasa dan bersikeras untuk tidak dibawa kedokter, aku merasakan ada penyakit serius yang menimpa ibu. Demamnya tak kunjung turun dan tubuhnya terlihat lemas meskipun beliau selalu berusaha untuk bergerak. Muncul rasa khawatir pada diriku sehingga aku menawarkan diri untuk mengantar beliau ke dokter. “Ibu, bagaimana jika aku antar pergi ke dokter?”, kataku pada ibu. Beliau pun hanya tersenyum dan aku hanya bisa menunggu dengan penuh rasa cemas.
Setelah beberapa waktu, akhirnya aku bersikeras untuk mengantar ibu berobat ke dokter. Dan lagi-lagi beliau menolaknya. Karena kesal dengan sikap ibu, aku jadi marah dan membentak ibu agar mau mengikuti kemauanku. Ibuku menatap dengan tajam dan berkata, “Baiklah jika Engkau ingin mengantarku berobat ke dokter. Di rumah sakit swasta Islam saja agar segera bisa tertangani.”
Akhirnya, berangkatlah aku mengantar ibu ke rumah sakit yang sudah ditentukan dengan menggunakan sepeda motor. Jarak yang harus kami tempuh pada waktu itu adalah 25 km. Di jalan, tiba-tiba saja terlintas ketakutan dalam diriku jika ibuku harus pergi untuk selama-lamanaya. Diri ini tampaknya belum siap jika harus berpisah dengan orang yang tulus mencintaiku tanpa mengharap imbalan apapun. “Ya, Allah jangan ambil ibuku sekarang”, doaku pada Allah.
Sesampainya di rumah sakit, ketakutanku semakin menjadi-jadi. Dokter memintaku agar ibu diijinkan untuk opname karena ibu harus mendapatkan perawatan intensif. Sungguh aku menjadi tambah takut dan pucat. Terbayang olehku, ibu sedang terbaring menghadapi detik-detik kematiannya. Rasa itu semakin tak menentu saat aku teringat kedurhakaan-kedurhakaanku pada ibu dahulu. Ingin rasanya aku meminta maaf dan mengucap ikrar janji akan menjadi anak berbakti. Tapi, mungkin saja semua itu tak akan pernah terjadi jika Allah menentukan takdir kematian pada ibuku.
Aku Sadar…
Hingga beberapa waktu lamanya, dokter belum juga mampu mendiaknosa penyakit ibu sementara beliau semakin berat menahan sakitnya. Pernah suatu waktu beliau terjatuh dari tempat tidurnya karena berusaha untuk bergerak. Tak jarang pula, infuse yang menembus kulit beliau harus diperbaiki atau diganti karena lepas. Sungguh, kekhawatiranku akan keselamatan ibu semakin menjadi-jadi.
Di hari yang ke-4, ibuku menunjukkan tanda-tanda yang semakin baik. Demamnya mulai turun dan rasa sakit di sekitar lambung sudah mulai berkurang. Melihat perubahan itu, aku semakin gencar melantunkan doa kepada Rabb semesta alam. Aku lawan rasa lelah dan aku sempatkan untuk melantukan doa seusai qiyamul lail. Di hari ke-5, ibuku diijinkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Sejak saat itu, aku mulai berusaha untuk berbakti pada ibu. Aku semakin giat untuk menuntut ilmu agama seperti keinginan beliau agar aku menjadi anak yang soleh. Lebih dari itu, aku pun tak ingin lagi bermalas-malasan untuk bekerja sehingga aku bisa membantu ekonomi keluarga ibu. Dan aku berjanji, akan berusaha dengan sungguh untuk menahan marah saat berinteraksi dengan ibu sehingga tak ada lagi keluar kata-kata cacian. Sungguh, Allah telah memberikan pelajaran berharga dari keteladaan seorang ibu.
Sumber : http://majalah-elfata.com/index.php?option=com_content&task=view&id=470&Itemid=98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar