Sabtu, 22 Mei 2010

Agar Musibah Menjadi Rahmat

Apabila musibah menimpa kita, ada beberapa sikap dan perbuatan yang bisa dilakukan agar beban yang berat terasa ringan. Dan tentunya, musibah justru menjadi rahmat yang indah.
Pertama, apabila ditimpa musibah hendaklah kita mengucapkan (dengan konsekuensi dan mengamalkan maknanya) :
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami dikembalikan)

Sebagaimana dalam surat Al Baqarah: 155, ketika Allah sebutkan (berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar), dalam ayat 156 disebutkan
“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpakan musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.’”

Disebutkan dalam hadist yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda
“Seorang hamba yang ditimpa musibah, lalu mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’, Allahumma’jurni fi mushibati wa akhlif li khairan minha’ (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah aku ganjaran dalam musibahku ini dan berilah ganti kepadaku dengan yang lebih darinya) niscaya Allah akan memberi ganjaran padanya dalam musibahnya dan akan menggantikan dengan yang lebih baik.” (Diriwayatkan Muslim)

Ucapan “inna lillahi” (sesungguhnya kami ini milik Allah) mengandung pengertian bahwa diri kita sendiri, keluarga, dan harta kita pada hakikatnya adalah milik Allah. Adapun Allah jadikan hal itu semua dimiliki oleh manusia sebagai pinjaman, sebagai suatu amanat. Suatu kisah tentang hal ini pernah dialami oleh Ummu Sulaim Radhiallahu Anhda. Ketika itu, Ummu Sulaim Radhiallahu Anha, seorang Sahabat perempuan, ditinggal mati anaknya yang sebelumnya menderita sakit. Lalu datanglah suaminya Abu Thalhah Radhiallahu Anhu ke rumah. Ia menanyakan, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim dengan sabarnya menjawab, “Ia lebih tenang dari sebelumnya”. Ummu Sulaim tidak ingin mengagetkan suaminya. Suaminya menyangka keadaan anaknya sudah lebih membaik. Kemudian, disiapkanlah makan malam. Tidak hanya itu, Ummu Sulaim berhias dan berdandan untuk suaminya di malam hari sehingga terjadilah apa yang terjadi. Baru setelah itu, Ummu Sulaim berkata, ‘Wahai Abu Thalhah! Bagaimana pendapatmu jika suatu kaum meminjamkan barang pinjaman miliknya kepada penghuni suatu rumah, kemudian ia meminya barang mereka lagi. Apakah boleh bagi penghuni rumah tersebut untuk menahannya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak boleh”. Ummu Sulaim kemudian berkata, “Hendaklah Anda pasrah mengharapkan ridha Allah atas kematian anakmu.” Sebagai seorang muslim kita harus ikhlas dan ridha apabila keluarga kita diambil oleh pemiliknya yang hakiki. Begitu juga jika kita kehilangan harta atau rumah, dan sawah ladang kita hancur, kita harus ridha kepada Allah, tidak bersangka buruk kepada-Nya. Kita mengucapkan juga, “Wa inna ilahi raji’un” (Dan sesungguhnya kepada-Nya kami dikembalikan). Sesungguhnya sewaktu kita lahir, kita tidak punya apa-apa. Setelah kita meninggal dunia nanti, kita pun tidak membawa apa-apa dari harta kita. Semuanya kita tinggalkan, yang kita bawa setelah meninggakl hanyalah iman dan amal sholih. Sesungguhnya tempat kembalinya seorang hamba adalah kepada Allah. Maka dia harus meninggalkan dunia di balik punggungnya dan dia akan menghadap Allah sendirian tanpa ada keluarga dan tanpa siapa-siapa. Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar mempersiapkan diri untuk menghadapi hari pembalasan dengan iman dan amal shalih. (bersambung Insya Allah)

Sumber : Farid bin Gasim Anus, Hikmah Dibalik Musibah, Darussunah Press. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar