Sabtu, 22 Mei 2010

Kasih Ibu Sepanjang Jalan....

Kedua insan itu, sedang terhuyung-huyung dalam riak gelombang cinta. Kemanakah perginya kesadaran ? yang sepenuhnya dapat membuat mereka berpikir normal seperti sedia kala. Yang ada,…hanya tarian dan lonjakan pikiran di kepala, bergoyang tak tentu arah, menyesuaikan diri dengan arus yang juga semakin tak jelas, menghempaskan tubuh mereka ke segala arah. Akal tidak dapat lagi berpikir secara normal, karena terawang-awang bersama cinta yang memabukkan.

Si gadis memang jelita, keanggunan parasnya nyaris dikatakan “sempurna” (jika ‘cinta gila’ masih mau mengaku bahwa ‘kesempurnaan’ itu hanya milik Allah). Perihal itu yang menjadikan si Gadis merasa pantas untuk selalu bermanja, membebani pundak kekasihnya dengan berbagai pinta. Segalanya harus terkabulkan, sebagai syarat untuk menguji kesungguhan hati sang kekasih. Bila memang tak ingin cintanya pergi dan menghilang…

Apa hendak dikata, perasaan sayang si lelaki sebagai seorang kekasih memang begitu dalam. Keanggunan gadis itu memang telah meluluh lantakkan tiang kesadaranya. Apapun akan ditempuh agar dapat membahagiakan pujaan hati, ucapanya adalah kewajiban yang lekas dituruti.

Mengenai harta, kekayaan si lelaki memang tak berbilang. Berbahagialah yang menjadi pendampingnya, dengan segala kilau perhiasan yang diberi dan tersemat sebagai kadar pengukuhan diri. Apa lagi hendak dicari, jika memang harta yang terpenting untuk memikat beribu gadis di bumi ini.

Tapi ternyata,…harta pun belum mencukupi, dan inilah misteri yang tersimpan di relung hati setiap wanita. Sulit ditebak, walau dibantu dengan nujum apapun. Mereka membutuhkan perhatian karena dahaga akan kasih sayang. Jika terkadang harta menyilaukan dan terbit keinginan untuk memiliki, itu hanyalah tabiat ‘mempercantik diri’ yang memang takkan hilang oleh masa.
 
Bukankah kata ‘cantik’ memang disandang oleh wanita.
Oleh karena itu, si gadis terus saja menguji perasaan cinta kekasihnya. Kali ini dengan sebuah permintaan yang sangat luar biasa. Terhenyaklah si lelaki ketika mendengarkanya. Ternyata, kelanjutan cintanya bukan hanya diuji, tetapi harus merelakan nuraninya terhempas jauh. Sungguh kejam, pertarungan cinta di dunia.
“Maukah kau mempesembahkan jantung Ibumu kepadaku”
 Cinta memang gila, bahkan buta segalanya. Jika sedang dilanda cinta, dunia serasa surga. Akan tetapi, berpikirkah para pecinta yang ada di dunia ini ? bahwa kiamat pun dekat, jika salah mempersepsikan cinta sejati.

Malam itu, di kala seluruh penghuni rumah sedang terlelap bersama mimpi. Si lelaki tersentak dari kelam tidurnya, permintaan pujaan hatinya terus saja bergelayut dalam kalbu. Gejolak perasaanya telah bercampur baur, diaduk-aduk oleh emosi, cinta dan hati nurani.
 
Siapakah yang akan memenangkan pertarungan segitiga ini ???.
Ternyata dia memang pecinta sejati, karena sanggup gila karena cinta. Masalah akal dan nurani akhirnya menjadi urutan yang kesekian, cintalah yang terdepan dan menjadi pemenang.
“Maafkan aku Ibu, karena lebih memilih dia. Di usia rentamu kini, aku rela kau pergi, asal bukan kekasihku yang meninggalkanku. Kau sudah seharusnya hidup dengan tenang. Jika tak dapat kau raih bahagia di alam fana ini, mungkin patut di alam sana nanti”.
“Aku adalah anak yang kau besarkan dengan limpahan kasih sayang, rasa cintaku juga besar terhadapmu. Tapi aku tetap hanyalah seorang anak, yang tak kan mampu sebanding membalas cintamu. Maafkanlah aku Ibu…”

Kemudian, tajam belati telah menghujam dada wanita renta itu. Ketika sedang tak sadar, dalam lelap yang belum terjaga. “Kadang cinta memang tak bernurani”. Rintihan dan derai air mata hanyalah sesal yang percuma, karena nyawa telah diregang. Dia pun tetap pergi seakan tak terjadi apapun.
Entah cinta, ataukah pikiran yang gila…hingga dia kegirangan, meski baju bersimbah darah. Langkah kaki yang dipercepat, berlari, dan tak pedulikan terjal belantara. Tak adakah sedikitpun tersentak hatinya? “Banyak langkah derita yang membuat kaki ibu bernanah, demi kehidupan anaknya.
Dia terus saja berlari bertambah kencang, niat yang menggebu untuk bertemu sang pujaan hati.
” Lihatlah kekasih, telah kupenuhi pintamu. Telah kubuktikan kesungguhan cintaku “.
Cinta jika tak menggunakan akal tentu tak mempunyai mata hati. Cinta yang buta, hanya dapat menjerembabkan. Seperti dia, yang tak melihat aral dihadangnya. Terjatuh dengan naas, berguling ke arah curam, kepalanya terbentur sebatang pohon kokoh, kemudian berujung pada sebuah batu besar. Kali ini, darah segar yang mengalir dari tubuhnya sendiri.

Penglihatanya sayu menahan sakit raga yang tidak terkira. Kemanakah perginya kegirangan ‘gila’, yang kini berganti dengan situasi yang hampir saja turut mengambil sisa nyawanya. Di tengah penglihatan yang semakin kabur, teronggok daging itu di hadapanya. “Jantung Sang Bunda”.
Dia coba menggeliat untuk meraihnya, masih saja tersisa niat ‘gila’ itu. Tapi tidak sebanding dengan upaya yang bisa dilakukanya kini. Seluruh sendi tubuhnya lemah, tak berdaya. Lebih tragis karena kedua tangan dan kakinya patah.

Di dalam situasi seperti itu, terdengar bisikan lirih. Entah darimana suara itu. Dia berusaha meyakinkan pendengaran sebisanya. Ternyata suara itu berasal dari seonggok daging di hadapanya, “Tidak Mungkin”…tapi ‘jantung’ itu benar bersuara…
“Apakah kau terluka Nak”…

Kasih Ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang jalan…



Sumber :  www.gagasmedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar