SETELAH Sumpah Pemuda diikrarkan 28 Oktober 1928, perkembangan bahasa Indonesia mengalami pasang-surut. Ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa awalnya adalah sumpah dan kebanggaan sekaligus perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda kala itu.
Bagaimana nasib bahasa Indonesia setelah lebih dari setengah abad merdeka? Ironis. Kata itulah yang cocok untuk menggambarkan perkembangan bahasa Indonesia saat ini. Ketika bahasa Indonesia mulai tersisihkan di rumahnya sendiri, lalu upaya apa saja yang dilakukan negara untuk melindungi bahasa Indonesia dari jajahan bahasa asing?
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, mewajibkan pejabat negara menggunakan bahasa Indonesida dalam pidato resmi.
Namun dalam praktiknya, masih banyak pejabat negara yang kurang mengindahkan aturan tersebut. Bahkan, Presiden SBY yang dulu pernah dinobatkan sebagai salah satu dari enam tokoh publik berbahasa Indonesia lisan terbaik pada bulan Oktober 2003 oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, sekarang mulai "latah" istilah asing.
Kalau petinggi negara sudah tidak peduli lagi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan, bagaimana dengan rakyatnya, yang saban hari menerima derasnya pengaruh budaya asing. Memang sifat bahasa yang terbuka dan berkembang terus, tidak mungkin menolak hadirnya istilah baru akibat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
Maka jangan heran jika kita sering menyaksikan anak-anak muda sekarang cas cis cus dengan bahasa asing atau bahasa gaul yang mereka bentuk sendiri. Memang hal itu akan memperkaya khasanah bahasa, tapi dari aspek lain, tidak konstruktif terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
Sesuai namanya bahasa Indonesia, berasal dari nesia’ yang ‘indo’- adalah bahasa kemempelaian yang bersanak-saudara banyak. Artinya, bahasa Indonesia terbentuk, kemudian dibentuk, di atas wilayah bahasa Melayu sebagai bagian bahasa-bahasa Austronesia, yakni sebagai lingua franca antarperlintasan suku, sukubangsa, bangsa, dan ras yang silih berganti mendatangi negeri ini.
Akibat dari bahasa Melayu sebagai lingua franca, maka bahasa melayu diangkat sebagai cikal bakal bahasa Indonesia mengalahkan saingannya bahasa Jawa, Sunda, dan lainnya yang merupakan satu di antara bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia.
Memang pembentukan bahasa Indonesia, tidak semuanya murni dari bahasa Melayu. Dalam kosakata bahasa Indonesia ada serapan bahasa luar seperti bahasa daerah (Jawa, Sunda, Sansekerta), bahasa asing (Belanda, Inggris, Latin, Arab), dan banyak serapan lainnya.
Dalam proses penyerapan inilah terkadang terjadi kekeliruan dalam penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, penyerapan dan pembakuan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia ini sudah sejak lama dilakukan Pusat Bahasa. Namun dalam praktiknya, masyarakat justru tidak mengacu pada standardisasi baku tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan kerancuan tersebut.
Untuk tetap menjaga dan melindungi eksistensi bahasa Indonesia dari serangan budaya luar, tidak hanya menyusun Undang-Undang Bahasa. Salah satu menumbuhkan kecintaan dan kebanggan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan. Dengan adanya rasa peduli dan kecintaan itu, maka muncul kemaun untuk memperlajari bahasa Indonesia secara mendalam dan konsisten.
Memang dalam era globalisasi ini, penguasaan bahasa internasional dalam hal ini bahasa Inggris mutlak dikuasai. Namun begitu, penguasaan bahasa asing ini jangan mengorbankan bahasa Indonsia. Merusak dan menghilangkan bahasa Indonesia sebagai aset bangsa, sekaligus bahasa persatuan, identitas budaya dan sastra nasional.
Sumber : http://suar.okezone.com/read/2011/01/05/59/410573/nasib-bahasa-ibuku-yang-merana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar